Search

Memanfaatkan Minyak Murah - Investor Daily

Mengganasnya pandemi virus corona menghancurkan harga minyak dunia, terjun bebas ke minus US$ 30 per barel atau pertama kali terjadi dalam sejarah manusia. Selain karena penularan cepat Covid-19 menyebabkan lockdown dan karantina massal di berbagai belahan dunia, komoditas emas hitam ini juga ditenggelamkan oleh perang minyak yang berkepanjangan antarkubu, antarkekuatan raksasa dunia, berebut hegemoni di semua lini.

Harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) di Amerika Serikat sempat menyentuh level terendah minus US$ 37,63 per barel, kemarin. Hancurnya harga minyak ini terjadi di lokasi-lokasi tertentu, lantaran tangki-tangki minyak produsen sudah penuh, sementara produksi tak dapat disetop mengingat biaya yang dibutuhkan sangat besar untuk berhenti maupun nantinya memulai kembali produksi. Alhasil, produsen lebih memilih memberikan insentif atau harga negatif kepada konsumen yang mengambil minyaknya.

Sedangkan secara global, harga minyak mentah diproyeksikan akan merangkak ke kisaran US$ 30 per barel sampai akhir tahun ini, atau bahkan mungkin US$ 40 per barel, dengan catatan pandemi virus corona atau Covid-19 tidak berkepanjangan. Setelah kesepakatan OPEC+ untuk mengurangi produksi mulai berjalan, harga minyak WTI diproyeksikan kembali ke level US$ 20 per barel untuk kontrak Juni nanti. Sementara itu, harga minyak dunia pernah mencetak rekor tertinggi US$ 144 per barel tahun 2008.

Sedangkan dari sisi ongkos produksi minyak, besarannya sangat bervariasi. Amerika Serikat yang dalam beberapa tahun terakhir berbalik arah dari net importer menjadi net exporter minyak berkat penemuan shale oil, ongkos produksinya relatif tinggi. Cost of production untuk shale oil diperkirakan rata-rata bisa mencapai US$ 40 per barel, namun mereka masih bisa berproduksi hingga harga minyak sekitar US$ 25 per barel. Untuk yang non-shale oil AS sekitar US$ 21 per barel. Sedangkan biaya produksi minyak Inggris US$ 44,3 per barel, atau masih lebih mahal dari shale oil Amerika.

Sementara itu, biaya produksi minyak di Arab Saudi terendah di dunia, sekitar US$ 10 per barel. Sedangkan produsen non-OPEC seperti Rusia yang menjadi musuh bebuyutan AS, biaya produksinya di bawah US$ 20 per barel.

Saat ini, tercatat top 10 oil exporters dunia adalah Arab Saudi, Rusia, Irak, AS, Kanada, Nigeria, Kuwait, Brasil, Kazakhstan, dan Norwegia. Sedangkan top 10 oil importers mencakup Tiongkok yang sekitar 20,2% dari total impor minyak dunia, disusul AS 13,8%. Yang lain dengan porsi di bawah 10% adalah India, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Jerman, Spanyol, Italia, dan Prancis. Kecuali India, negara-negara tersebut termasuk dalam jajaran teratas dengan jumlah penduduk terbanyak yang terinfeksi virus berbahaya corona, yang menular cepat dan memakan korban jiwa yang masih terus bertambah.

Sementara itu, Indonesia yang sudah lama menjadi net importer minyak praktis tidak punya bargaining apa pun untuk memengaruhi harga minyak dunia. Itulah sebabnya, akan jauh lebih produktif jika kita fokus untuk menghitung, mengantisipasi, dan memanfaatkan peluang yang bisa diambil dalam kondisi harga minyak terpuruk sekarang.

Dalam hal ini, PT Pertamina (Persero) telah memanfaatkan harga minyak yang jatuh, dengan menambah impor minyak mentah, bensin, dan LPG. Rinciannya, impor minyak mentah sebanyak 10 juta barel, bensin 9,3 juta barel, dan LPG 220 ribu metrik ton, dengan mengoptimalkan storage yang ada.

Namun demikian, BUMN migas itu tidak bisa langsung menyetop produksi dari blok migasnya agar bisa mengimpor BBM dengan harga murah, meski biaya produksi di dalam negeri masih lebih tinggi dari harga minyak di pasar internasional sekarang. Selain itu, jika Pertamina berhenti menyerap minyak mentah dalam negeri, ada kemungkinan kontraktor migas nasional akan berhenti beroperasi.

Pertamina juga tidak dapat menghentikan operasi seluruh kilangnya, meski di Maret lalu bisa mengimpor bensin dengan harga hanya US$ 22,5 per barel, lebih murah dari impor minyak mentah US$ 24 per barel. Sebab, jika seluruh kebutuhan BBM dalam negeri dipenuhi dengan impor, maka sumber daya yang ada di Tanah Air tidak bisa dimanfaatkan, sementara kita juga tidak bisa seterusnya mengandalkan semua sumber daya dari luar mengingat harga minyak tak selamanya murah.

Itulah sebabnya, dalam hitung-hitungan BUMN migas sektor hulu hingga hilir itu, meski harga minyak dunia anjlok, harga BBM di Tanah Air belum bisa langsung diturunkan. Pasalnya, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) lebih cenderung mendekati harga minyak Brent dari Laut Utara Eropa yang masih sekitar US$ 21,47 per barel. Jenis minyak ini lebih ringan dan mudah diolah, sehingga banyak diminati, termasuk di Tiongkok dan AS.

Penurunan harga minyak mentah juga bukan berarti Pertamina untung besar-besaran. Pasalnya, saat ini juga terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada periode Januari-Februari lalu misalnya, karena tidak ada perubahan signifikan untuk ICP dan kurs rupiah yang merosot, kemungkinan penurunan harga BBM nonsubsidi pun hanya Rp 200-500 per liter.

Di sisi lain, permintaan BBM juga turun signifikan. Padahal, Pertamina tetap harus menanggung biaya untuk Program BBM Satu Harga di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Di tengah pandemi Covid-19, perusahaan pelat merah ini juga menjalankan tugas negara melakukan cashback BBM 50% bagi ojek online (ojol) yang berlaku selama 3 bulan. 

Sedangkan sebagai BUMN, Pertamina makin diandalkan untuk menutup pendapatan negara, akibat anjloknya penerimaan pajak karena terhentinya hampir semua kegiatan ekonomi di Tanah Air akibat pandemi Covid-19, plus penerimaan dari migas dan batu bara anjlok. Sementara itu, saat ini, harga bensin dan solar yang dijual Pertamina tergolong masih cukup rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand.

Oleh karena itu, perlu segera dicari titik temu antara keputusan bisnis, keputusan Pertamina sebagai BUMN yang menjadi motor penggerak ekonomi nasional, serta keputusan pemerintah yang melindungi kepentingan konsumen. Dalam hal ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memegang wewenang penentuan harga BBM harus bijaksana.

Ini misalnya dengan mempertimbangkan di Maret-April 2020 terjadi deviasi harga minyak dan kurs rupiah yang diperkirakan cukup signifikan, masing-masing kini sekitar US$ 30 per barel dan sekitar Rp 15.500 per dolar AS dibandingkan asumsi dalam APBN. Kondisi ini sebenarnya memberikan ruang untuk menurunkan harga BBM nonsubsidi Rp 1.000-1.500 per liter. Untuk itu, bisa dipertimbangkan jalan tengah dengan penurunan harga Rp 500 per liter, yang akan membantu biaya distribusi barang dan ongkos produksi industri strategis yang masih beroperasi. 

Sumber : Investor Daily

Berita Terkait

Let's block ads! (Why?)



"minyak" - Google Berita
April 22, 2020 at 03:58PM
https://ift.tt/2yyXprM

Memanfaatkan Minyak Murah - Investor Daily
"minyak" - Google Berita
https://ift.tt/2qtzGFm
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Memanfaatkan Minyak Murah - Investor Daily"

Post a Comment

Powered by Blogger.